Taqlid




Tugas Mandiri
Ushul Fiqh

TAQLID



Oleh:

FEBRI RAHMADHANI
11432101341

PRODI ILMU AL-QURAN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM
RIAU
2016


KATA PENGANTAR
Al-hamdulillah, akhirnya penulis bisa menyelesaikan makalah TAQLID  ini. Untuk memenuhi tuntutan tugas mata kuliah Ushul Fiqh, yang diampu oleh Drs. Kaizal Bay, M.Si. dengan harapan makalah ini bisa menjadi salah satu pertimbangan dalam penilaian semester ini untuk mata kuliah Ushul Fiqh.

Terima kasih yang tak terhingga penulis ucapkan pada rekan-rekan yang telah mau berbagi referensi makalah dan masukan kepada penulis. Disamping sebagai tuntutan tugas makalah ini juga dapat dijadikan sember bacaan bagi kalangan umum, apalagi yang masih awam tentang judul makalah ini.
Makalah ini jelas sangat jauh dari sempurna, maka dari itu harapan penulis agar para pembaca memberikan kritikan dan saran untuk kesempurnaan makalah penulis berikutnya.
Pekanbaru,     Juni 2016.
Febri Rahmadhani
   


   DAFTAR ISI
  
KATA PENGANTAR..................................................................................... i
 DAFTAR ISI................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................... 1
          A.    Latar Belakang..................................................................................... 1
         B.     Rumusan Masalah................................................................................. 1
BAB II TAQLID............................................................................................. 2
                 A.    Pengertian............................................................................................. 2      
          B.     Hukum Bertaqlid.................................................................................. 3
          C.     Ketentuan Bertaqlid............................................................................. 5
BAB III KESIMPULAN................................................................................ 7
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 8
 


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Sehubungan dengan pelaksanaan hukum Syara’ ummat islam dibagi dalam tiga kelompok, yaitu orang yang memiliki ilmu dan mampu berijtihad (mujtahid), orang yang mengikuti pendapat mujtahid tetapi mengetahui hujjah mujtahid yang diikutinya (muttabi’), dan orang yang mengikuti pendapat mujtahid tetapi tidak mengetahui hujjah mujtahid yang diikutinya. (Muqallid).
Dalam hal ini terdapat permasalahan yaitu apakah boleh seorng muslim mengikuti pendapat mujtahid atau tidak. Maka dari itu makalah sedrhana ini mencoba untuk menguraikan tentang hal itu.
B.     Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang diuraikan diatas maka ada beberapa permasalahan yang akan di bahas dalm makalah ini, yaitu:
1.      Apa Pengertian Taqlid?
2.      Bagaimana Hukum Bertaqlid?
3.      Bagaimana Ketentuan Dalam Bertaqlid?
 
  
BAB II
TAQLID
A.    Pengertian
Secara Etimologi taqlid adalah “Mengalungi” atau “Memakaikan Kalung” kemudian diambil pemahaman bahwa Taqlid adalah “Mengikuti seseorang secara patuh,”  dapat juga berarti وضع الشيء في العنق محيطاً به كالقلادة “Meletakkan sesuatu di leher dengan melilitkan padanya seperti tali kekang."[1] secara sederhana dapat di artikan قبول قول بلا حجة   “menerima pendapat orang lain tanpa hujjah.”[2] Pengertian lain seperti yang diungkapkan oleh Mardani[3] وضع الشيء في العنق محطا به كالقلادة “Meletaki sesuatau dilehernya dengan mengitarinya seperti kalun.” Secara Terminologis Taqlid adalah:
اتباع من ليس قوله حجة
“Mengikuti perkataan seseorang yang perkataannya bukan Hujjah.”[4]
Sedangkan Menurut Ulama Lain Taqlid adalah seperti yang dikemukakan oleh Ibn al-Hummam, yang dikutib oleh Amir Syarifuddin.
التقليد العمل بقول من ليس قوله احدى الحجج بلا حجة منها
“Taklid adalah beramal dengan pendapat seseorang yang tidak berkedudukan sebagai hujjah tanpa mengetahui hujahnya.”[5]
Menurut Hasbi Ash-Shiddieqy Taqlid Adalah:
العمل بقول من ليس قوله احدى الحجج الشرعية بلا حجة منها
“Mengamalakan pendapat orang yang pendapatnya itu bukan suatu Hujjah Syariyyah, Tanpa ada hujjah.”[6]
Menurut al-Amidi, seperti yang dikutib oleh T.M. Hasbi Ash-Shiddiqieqy, bahwa mengambil suatu hukum dengan dalilnya, walaupun sesuai dengan pendapat seorang mujtahid, maka dinamai ittiba’, bukan Taqlid. Karena sebenarnya dia mengambil dari dalil bukan dari mujtahid. [7] Lebih lanjut beliau mengatakan, Ringkasnya Ittiba’ adalah:
اتباع ما ثبت عليه حجة
“mengikuti sesuatu yang ada hujjahnya.”[8]
Sedangkan Muttabi’ adalah:
والمتبع كل من اوجب عليه الدليل اتبا قول غيره
“orang yang diwajibkan oleh dalil mengikuti perkataan orang lain.”[9]
Dari defenisi yang dikemukakan oleh para pakar diatas, maka dapat dirumuskan hakikat taqlid dengan:
a.       Taqlid beramal dengan pendapat orang lain.
b.      Pendapat orang lain itu bukan hujah.
c.       Orang yang mengikuti pendapat orang lain itu tidak mengetahui hujah atau dalil dari pendapat yang di ikutinya.
B.     Hukum Bertaqlid
Terdapat perbedaan pandangan ulama dalam masalah boleh atau tidaknya bertaqlid, terhadap pendapat orang lain. Hal ini dapat di kelompokan sebagai berikut:[10]
1.      Taqlid yang dilakukan oleh mujtahid kepada mujtahid lain. Dalam hal ini terdapat beberapa pendapat, yaitu:
a)      Kebanyakan ulama sepakat mengatakan haram hukumnya seorang mujtahid melakukan taqlid secara mutlak, karena ia mampu melakukan ijtihad dengan sendirinya.
b)      Ahmad bin hanbal, Abu ishak bin al-rawahaih dan sofyan al-tsauri mengatakan boleh mujtahid melakukan taqlid kepada mujtahid lain secara mutlak.
c)      Imam syafi’i dalam qaul qadimnya (waktu di iraq) berpendapat boleh mujtahid bertaqlid kepada mujtahid lain dalam level shahabat nabi dan tidak boleh kepada mujtahid lainnya.
d)     Muhammad bin hasanal syaibani berpendapat boleh mujtahid bertaqlid kepada mujtahid lain yang lebih alim dari dirinya.
e)      Ulama lain berpendapat bahwa boleh mujtahid bertaqlid kepada mujtahid lain, tatapi hanya untuk diamalkannya sendiri dan tidak untuk difatwakannya.
f)       Ibn sureij berpendapat bolehnya mujtahid bertaqlid kepada mujtahid lain bila ia menghadapi keterbatasan waktu untuk berijtihad sendiri.
g)      Ulama lain berpendapat bolehnya seseorang mujtahid taqlid kepada mujtahid lainn bila ia seorang yang sedang bertugas sebagai qadhi.
2.      Hukum taqlid yang dilakukan oleh al-Muttabi’ atau alim. Dalam hal ini ulama juga berbeda pendapat sebagai berikut:
a)      Tidak boleh seorang alim bertaqlid kepada mujtahid karena ia mempunyai kemampuan untuk mendapatkan hukum dengan sendriinya. Walaupun ia belum mencapai kemampuan mujtahid.
b)      Boleh seorang alim bertaqlid kepada mujtahid lain dengan syarat ia dapat mengetahui kekuatan dalil yang digunakan mujtahid yang diikutinya itu..
3.      Hukum bertaqlid yang dilakukan orang awam kepada seorang mujtahid. Hal ini juga menjadi tempat perbedaan pendapat. Yaitu:
a)      Menurut al-Baidhawiy dari kalangan Syafi’iyah dan kebanyakan ulama lainnya berpendapat bahwa beleh orang awam dan orang yang tidak memiliki kemampuan berijtihad untuk bertaqlid. Bahkan ada yang mewajibkannya. Hal ini berdasarkan pemahaman dari surah An-Nahl ayat 43.
b)      Golongan mu’tazilah baghdad berpendapat tidak boleh orang awam bertaqlid, tetapi ia wajib mencapai hukum melalui ijtihadnya dan untuk itu ia harus belajar.
c)      Al-Jubba’iy berpendpat boleh seorang awam bertaqlid dalam bidang ijtihadiyah dan tidak boleh dalam hal –hal yang ada nashnya yang jelas.
Dalam masalah taqlid, Ibn Subki mengelompokan ummat pada empt kelompok yaitu seperti yang dikutib oleh Mardani[11] sebagai berikut:
1.      Orang awan yang tidak mempunyai pengetahuan sama sekali.
2.      Arang alim yang belum mencapai tingkat mujtahid.
3.      Orang yang mampu melakukan ijtihad namun baru sampai ke tingkat dugaan kuat (zhan).
4.      Mujtahid.
Menurut beliau bertaqlid tergantung pada tingkatannya dalam pengelompokan diatas. Orang yang telah sampai ke tingkat mampu berijtihad tetapi baru sampai ke tingkt zhan maka dikategorikan mujtahid penuh.
C.    Ketentuan Bertaqlid
Seseorang yang akan bertaqlid kepada seorang mujtahid, di isyaratkan bahwa ia mengetahui orang yang di ikutinya itu memang mempunyai kemampuan untuk ber ijtihad dan bersifat ‘adalah. Yaitu tidak pernah melakukan dosa besar dan tidak sering melakukan dosa kecil, dan selalu menjaga Muruahnya. Pengetahuannya itu dicukupkan dari berita yang masyhur ditengah umat.
Asy -Sy aikh al-'Allamah Muhammad bin Sholeh al-'Utsaimin membagi taqlid dalam dua jenis[12], yaitu:
Pertama: seseorang berpegang pada suatu madzhab tertentu yang ia mengambil rukhshoh-rukhshohnya1 dan azimah-azimahnya2 dalam semua urusan agamanya. Dan para 'ulama telah berbeda pendapat dalam masalah ini. Diantara mereka ada yang berpendapat wajibnya hal tersebut dikarenakan (menurut mereka) orang-orang muta-akhirin memiliki udzur (tidak mampu,) untuk ber-ijtihad; diantara mereka ada yang berpendapat haramnya hal tersebut karena apa yang ada padanya dari keharusan yang mutlak dalam mengikuti orang selain Nabi sholallohu alaihi wa sallam. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata : "Sesungguhnya dalam pendapat yang mewajibkan taat kepada selain Nabi dalam segala perintah dan larangannya adalah menyelisihi ijma' dan tentang kebolehannya masih dipertanyakan." Beliau juga berkata : "Barangsiapa memegang suatu madzhab tertentu, lalu ia melaksanakan yang menyelisihi madzhabnya tanpa taqlid kepada 'ulama lain yang memberinya fatwa dan tanpa istidlal dengan dalil yang menyelisihinya, dan tanpa udzur syar'i yang menunjukkan halalnya perbuatan yang dilakukannya, maka ia adalah orang yang mengikuti hawa nafsunya, pelaku keharoman tanpa ada udzur syar'i, dan ini adalah mungkar. Adapun jika menjadi jelas baginya apa-apa yang mengharuskan adanya tarjih pendapat yang satu atas yang lainnya, baik dengan dalil-dalil yang terperinci jika ia tahu dan memahaminya, atau ia melihat salah seorang 'ulama yang berpendapat adalah lebih 'aalim (tahu) tentang masalah tersebut daripada 'ulama yang lain, yang mana 'ulama tersebut lebih bertaqwa kepada Alloh terhadap apa-apa yang dikatakannya, lalu orang itu rujuk dari satu pendapat ke pendapat lain yang seperti ini maka ini boleh, bahkan wajib dan al-Imam Ahmad telah menegaskan akan hal tersebut.
Kedua: seseorang mengambil pendapat tertentu dalam kasus tertentu, maka ini boleh jika ia lemah/tidak mampu untuk mengetahui yang benar melalui ijtihad, baik ia lemah secara hakiki atau ia mampu tapi dengan kesulitan yang sangat.

BAB III
KESIMPULAN
Dari uraian diatas dapat di simpulkan bahwa: 
 Hakikat taqlid adalah:
·      Taqlid beramal dengan pendapat orang lain.
·      Pendapat orang lain itu bukan hujah.
·      Orang yang mengikuti pendapat orang lain itu tidak mengetahui hujah atau dalil dari pendapat yang di ikutinya.
Hukum bertaqlid para ulama berbeda pendapat dalam menetapkannya. Tapi menurut penulis pendapat yang paling kuat adalah:
·  Tidak boleh seorang mujtahid bertaqlid pada mujtahid lain. Kecuali dia benar-benar tidak mengetahui tentang hal yang ia bertaqlid atau ia seorang Qadhi.
·   Bagi orang ‘Alim tapi belum mencapai tinggkat mujtahid juga tidak boleh bertaqlid tetapi dibolehkan Ittiba’.
·    Bagi orang awam yang benar-benar tidak memiliki pengetahuan dan tidak ada waktu/biaya/kesempatan untuk belajar maka dibolehkan bertaqlid.
3    Ketentan bertaqlid adalah kita benar-benar mengatahui bahwa mujtahid yang kita ikuti adalah orang yang ‘alim dan ‘adalah serta selalu menjaga Muru’ahnya.

DAFTAR PUSTAKA
al-'Utsaimin, Asy -Sy aikh al-'Allamah Muhammad bin Sholeh. 2007.  Prinsip Ilmu Ushul Fiqih. (Versi PDF di Download dari laman http://tholib.wordpress.com ).
Ash-Shiddieqy, T.M. Hasbi. 1974. Pengantar Ilmu Ushul Fiqih. Jakarta: Bulan Bintang.
Mardani. 2013. Ushul Fiqh. Jakarta: Rajawali Pers.
Syarifuddin, Amir. 2012 Garis-Garis Besar Ushul Fiqh. Jakarta:Kencana.


[1] Asy -Sy aikh al-'Allamah Muhammad bin Sholeh al-'Utsaimin, Prinsip Ilmu Ushul Fiqih, (Versi PDF di Download dari laman http://tholib.wordpress.com ) hal. 133
[2] Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2012), Hal. 163. Lihat juga T.M. Hasbi Ash-Shiddiqieqy, pengantar ilmu fiqh, (jakarta: bulan bintang, 1974), Hal.190.
[3] Mardani, Ushul Fiqh, (Jakarta: Raja wali Pers, 2013), hal. 368
[4] Ibid.
[5] Amir Syarifuddin, Op.Cit., hal. 163.
[6] T.M. Hasbi Ash-Shiddiqieqy, Op.Cit., hal. 190-191.
[7] Ibid., hal.191.
[8] Ibid.
[9] Ibid.
[10] Amir Syarifuddin, Op.Cit., hal. 164-167
[11] Mardani, Op.Cit. hal. 369-370
[12] al-'Utsaimin, Op.cit. hal. 135

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makalah Tafsir Kontemporer